persislembang.or.id

MENGHAYATI SEJARAH DAN NILAI-NILAI IBADAH QURBAN

Pengertian Qurban dan Udhiyyah

Kalimat “Qurban” menurut Ibnu Faris (w. 395 H) dalam kitab “Mu’jam Maqaayis al-Lughah” berasal dari kata “Qaraba (قرب)” yang memiliki makna “Khilaf al-Bu’di”, yakni kebalikan dari ‘jauh’, yang berarti maknanya adalah dekat. Oleh sebab itu lah, Qurban dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Swt.; berupa hewan sembelihan atau pun yang lainnya. (Ibn Faris, Mu’jam Maqaayis al-Lughah, 5/80-81). Pengertian tersebut sama dengan definisi yang diungkapkan oleh ar-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H) berikut ini:

والقُرْبَانُ: ما يُتَقَرَّبُ به إلى الله، وصار في التّعارف اسما للنّسيكة التي هي الذّبيحة، وجمعه: قَرَابِينُ.

Al-Qurban adalah apa-apa yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Lalu dalam ‘urf/kebiasaan, jadilah ia sebutan untuk hewan sembelihan (nasikah atau dzabihah). Bentuk pluralnya adalah “Qaraabiin”. (ar-Raghib al-Ashfahani, al-Mufradat fii Gharib al-Quran: 664)

Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa segala bentuk ibadah dan perbuatan yang dapat membuat seorang hamba menjadi lebih dekat dengan Allah Swt., maka hal itu dapat disebut sebagai “Qurban”.

Meskipun demikian, pada tahap selanjutnya kalimat “Qurban” itu sendiri nampak mengalami penyempitan makna, menjadi suatu sembelihan hewan yang dilakukan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, Oleh sebab itu lah, hari raya yang hari ini dirayakan dengan suka cita oleh Umat Islam di seluruh dunia dikenal dengan ‘Iedul Qurban yang berarti hari raya berkurban. Lalu dalam prakteknya, sembelihan pada hari raya ini dilakukan pada waktu dhuha; setelah terbitnya mata hari, sesuai dengan apa yang dicontohkan dan diperintahkan oleh Rasulullah Saw, “Hal pertama yang kami mulai pada hari kami ini (‘iedul Adha) adalah kami shalat lalu kami pulang dan menyembelih (hewan kurban), barang siapa yang mengerjakan hal tersebut, maka sungguh ia telah sesuai dengan sunnah kami.” (HR. Muttafaq ‘alaih). “…Barangsiapa menyembelih sebelum shalat, maka ia adalah sembelihan biasa.” (HR. Bukhari no. 983). Maka dari itu hari raya ini disebut pula sebagai ‘Iedul Adha, sedangkan sembelihannya disebut dengan “Udhiyyah”.

Mengenai kalimat “Udhiyyah” ini, dalam kitab “Fiqhu as-Sunnah” karya Sayyid Sabiq dijelaskan:

الأضحية لغة: هي ذبح الأضحية وقت الضحى. اصطلاحا: الاضحية والضحية اسم لما يذبح من الابل والبقر والغنم يوم النحر وأيام التشريق تقربا إلى الله تعالى.

Udhiyyah menurut bahasa adalah sembelihan hewan pada waktu dhuha. Sedangkan menurut istilah al-Udhiyyah atau adh-Dhahiyyah adalah nama bagi setiap sembelihan; berupa unta, sapi, dan kambing pada hari nahar (10 Dzulhijjah) dan hari-hari tasyriq (11, 12, & 13 Dzulhijjah) dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. (Sayyid Sabiq, Fiqhu Sunnah: 3/317; alFiqh al-Muyassar: 192)

Mula-Mula Adanya Ibadah Qurban

Qurban Qabil dan Habil

Jika berbicara tentang ada, maka sesungguhnya Qurban itu sudah dimulai dan dilakukan oleh makhluk Allah Swt sejak Anak Adam yang paling awal; yakni Qabil dan Habil. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Allah Swt dalam (QS. Al-Ma’idah [5]:27-30):

Bacakanlah (Nabi Muhammad) kepada mereka berita tentang dua putra Adam dengan sebenarnya. Ketika keduanya mempersembahkan kurban, kemudian diterima dari salah satunya (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Dia (Qabil) berkata, “Sungguh, aku pasti akan membunuhmu.” Dia (Habil) berkata, “Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang-orang yang bertakwa. Sesungguhnya jika engkau (Qabil) menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan semesta alam. Sesungguhnya aku ingin engkau kembali (kepada-Nya) dengan (membawa) dosa (karena membunuh)-ku dan dosamu (sebelum itu) sehingga engkau akan termasuk penghuni neraka. Itulah balasan bagi orang-orang yang zalim.” Kemudian, hawa nafsunya (Qabil) mendorong dia untuk membunuh saudaranya. Maka, dia pun (benar-benar) membunuhnya sehingga dia termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Al-Maidah [5]: 27-30)

Ayat di atas, menceritakan tentang kisah terbunuhnya Habil di tangan saudaranya sendiri yang bernama Qabil. Pembunuhan ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw sebagai pembunuhan pertama yang terjadi di muka bumi.

Dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata, Rasulullah Saw bersabda, “Tidak pernah ada jiwa yang dibunuh secara dzalim, kecuali yang terjadi kepada anak Adam yang pertama menjadi bagian (dosa) dari pembunuhannya, karena sesungguhnya ia adalah orang pertama yang memulai pembunuhan.” (HR. Bukhari)

Selain itu, yang menjadi motif dan alasan pembunuhan ini tiada lain selain sifat dzalim dan iri dengki (hasad) yang dimiliki oleh Qabil terhadap nikmat yang Allah Swt berikan kepada saudaranya; Habil.

Ibn Katsir (w. 774 H) saat menafsirkan ayat ini menyampaikan penjelasan dari para ulama salaf dan khalaf, bahwa Allah membolehkan Adam AS. untuk melakukan kawin silang di antara anak-anaknya dengan alasan kondisi darurat yang harus dilakukan agar manusia ini dapat berkembang menjadi suatu umat (Tafsir Ibn Katsir: 3/82) . Adam AS melalui istrinya; Hawaa’, senantiasa diberi sepasang anak laki-laki dan perempuan yang jumlahnya mencapai 40 anak dari 20 kali kehamilan.

Ats-Tsa’labi berkata, “Para ahli ilmu menyebutkan bahwa Hawwa’ melahirkan untuk Adam 40 anak dari 20 kali kehamilan. (Ibn Hajar al-‘Aqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari: 12/193)

Di antara anak-anak Nabi Adam AS tersebut terdapat dua pasang anak. Pasangan yang pertama bernama Qabil dan adiknya Damimah serta pasangan lainnya Habil dan adiknya Wadhi‘ah. Damimah yang berparas menarik hendak dinikahkan dengan Habil, sedangkan Wadhi‘ah dipasangkan dengan Qabil. Hal inilah yang kemudian memancing sifat hasad dalam diri Qabil untuk menyeruak dalam wujud penolakannya atas hal tersebut di atas, maka, untuk menyelesaikan masalah ini keduanya diperintahkan untuk ber”Qurban” yang kemudian qurban Habil diterima oleh Allah Swt, sedangkan qurban Qabil tidak. Sehingga, terjadilah kisah pembunuhan sebagaimana diabadikan oleh Allah Swt dalam QS. Al-Ma’idah [5]:27-30 sebagaimana di atas.

Selanjutnya, selain dilakukan oleh Qabil dan Habil, dalam ayat yang lainnya, Allah Swt menegaskan bahwa ibadah Qurban menjadi ibadah yang sanantiasa ada pada semua umat:

Bagi setiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban) agar mereka menyebut nama Allah atas binatang ternak yang dianugerahkan-Nya kepada mereka… (QS. Al-Hajj [22]:34)

Qurban Nabi Ibrahim AS.

Selanjutnya, jika berbicara tentang ibadah “Qurban” yang dilaksanakan pada hari raya ‘iedul Adha, maka hal ini juga merujuk pada apa yang Allah syariatkan kepada Nabi Ibrahim AS.

Dia (Ibrahim) berkata, “Sesungguhnya aku akan pergi (menghadap) kepada Tuhanku. Dia akan memberiku petunjuk.” (Ibrahim berdoa,) “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (keturunan) yang termasuk orang-orang saleh.” Maka, Kami memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak (Ismail) yang sangat santun. (As-Saffat [37]:99-101)

Ayat ini menjelaskan bahwa setelah Allah Swt menolong Nabi Ibrahim AS dari kaumnya, dan ia sudah putus asa dari mengaharapkan keimanan mereka, maka saat itu Ibrahim pun berhijrah. Dalam keadaan tersebut Nabi Ibrahim memohon kepada Allah Swt agar dianugrahi anak yang shalih sebagai ganti dari kaum dan keluarga yang ia tinggalkan, maka lahirlah Isma’il AS; seorang anak yang kian dinanti dan didambakan kehadirannya (Tafsir Ibn Katsir: 7/27).

Namun kemudian, nyatalah bahwa bagi Nabi Ibrahim AS, ujian belum lagi berakhir, justru baru dimulai kembali. Saat itulah turun perintah Allah Swt agar Ibrahim AS mengasingkan Ibu dan anak yang disayanginya itu ke sebuah negri tak berpenghuni, tidak ada air, lagi tiada tanaman; sebuah negri yang di kemudian hari dikenal dengan nama Mekah al-Mukarromah. Bahkan, saat Sang anak beranjak dewasa, ujian pun masih lagi berlanjut. Turunlah perintah dari Allah Swt bahwa Ibrahim AS harus menyembelih anak yang dikasihinya tersebut. Meskipun di akhir kisah, Allah urungkan Isma’il disembelih dan Allah beri ganti dengan seekor hewan yang besar.

Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.” Ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) meletakkan pelipis anaknya di atas gundukan (untuk melaksanakan perintah Allah), Kami memanggil dia, “Wahai Ibrahim. Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.” Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat kebaikan. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Kami menebusnya dengan seekor (hewan) sembelihan yang besar. (QS. As-Saffat [37]:102-107)

Dalam proses ujian tersebut, terungkap sebuah dialog nan mengharukan yang dituturkan oleh Ibn ‘Abbas ra. Bahwa saat Isma’il AS telah dibaringkan untuk disembelih, ia berkata:

“Wahai Ayahku, kencangkanlah ikatanku agar aku tak lagi bergerak. Singsingkanlah bajumu agar tak ada sedikitpun darahku yang mengotorinya, maka akan berkurang pahalaku, dan (jika nanti) ibu melihat bercak darah itu niscaya beliau akan bersedih. Asahlah pisaumu dan percepatlah gerakan pisau itu di leherku agar terasa lebih ringan bagiku, karena sungguh kematian itu amat dahsyat. Wahai ayahku, jika engkau pulang pada ibu, sampaikanlah salam dariku untuknya. Dan andai menurutmu baik untuk memberikan bajuku kepadanya maka lakukanlah, semoga saja hal itu dapat menjadi pelipur lara untuknya dariku.” (Tafsir al-Baghawi 4/37. Tafsir al-Qurthubi 15/104)

Melihat ketabahan, kepatuhan, dan keshalihan putranya ini, tentulah Nabi Ibrahim merasa bangga. Maka, dengan penuh haru beliau berujar:

“Wahai anakku, Engkaulah sebaik-baik pertolongan dalam melaksanakan perintah Allah.”

Pada tahap berikutnya Nabi Ibrahim AS pun melakukan apa yang menjadi saran dan permintaan terakhir putranya itu. Lalu, dalam keadaan Nabi Isma’il AS yang sudah terikat beliau sempatkan untuk menciumnya, hingga pecahlah tangis di antara keduanya. Episode kisah ini berlanjut pada peristiwa dicabutnya perintah Allah Swt. untuk menyembelih Isma’il AS, dan selamatlah ia dari pisau Sang ayah yang sungguh telah menempel di urat lehernya.

Pensyari’atan Ibadah Qurban/Udhiyah dan Nilai-nilai yang Terkandung di Dalamnya

Pensyari’atan ibadah “Qurban” sebagai salah satu ibadah yang juga ada pada umat Nabi Muhammad Saw berlandaskan pada firman Allah Swt berikut ini:

Sesungguhnya Kami telah memberimu (Nabi Muhammad) nikmat yang banyak. Maka, laksanakanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah!. Sesungguhnya orang yang membencimu, dialah yang terputus (dari rahmat Allah). (QS. Al-Kautsar [108]: 1-3)

Ibn Katsir (w. 774 H) menjelaskan bahwa ayat ini turun untuk membantah cemoohan sekelompok pembenci dan pendengki dari kalangan kafir Quraisy yang menyebut bahwa Rasulullah Saw adalah orang yang mandul; kehilangan penerus setelah putra-putranya wafat. Padahal, dalam pandangan Allah tidak demikian, malah merekalah yang mandul (al-Abtar). Sebab, mereka terputus dari semua kebaikan, terputus dari semua amalan, serta terputus dari semua penyebutan. Sedangkan Nabi Muhammad Saw adalah orang yang sempurna kebenaran dan kebaikannya; baik di dunia maupun di akhirat. Beliau paling luhur penyebutan namanya, paling banyak pembelanya, serta paling banyak pengikutnya. Bahkan dalam ayat ini, Allah tegaskan bahwa Nabi Muhammad berhak mendapat al-Kautsar, yang bermakna kebaikan yang banyak, keutamaan yang melimpah, serta sungai dan telaga d akhirat; yang airnya lebih putih dari susu, rasanya lebih manis dari madu, dan bejananya bak bintang-bintang di langit yang terang benderang lagi tak terhingga jumlahnya. Siapa yang dapat minum di dalamnya, maka ia tak kan merasa haus lagi untuk selamanya. (Tafsir Ibn Katsir: 8/504-505; Tafsir as-Sa’di: 935)

Oleh karena anugrah Allah Swt yang luar biasa tersebut, maka beliau Saw—dan umatnya diperintah, “Maka, laksanakanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah! (QS. Al-Kautsar [108]: 2).

Dari Anas bin Malik, “Bahwa Rasulullah Saw berkurban dengan dua ekor kambing amlah yang bertanduk. Beliau membaca Basmalah dan bertakbir. Sungguh Aku (Anas) melihatnya menyembelih dengan tangannya sendiri sambil meletakkan kakinya di samping leher kambing tersebut.” (HR. Ibn Majah no. 3120)

Lantas kemudian, apa yang menjadi tujuan dan nilai apa yang terkandung di dalam ibadah ini?

Maka, dalam pandangan penulis, nilai ibadah “Qurban” ini memiliki dua dimensi, vertikal dan horizontal. Secara vertikal, ibadah ini dilaksanakan atas dasar lurusnya akidah dan sempurnya ketaatan seorang hamba kepada Sang Penciptanya, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS. sehingga, dengan melaksanakan ibadah ini dapat menjadikan seorang hamba lebih dekat dengan Allah Swt. Selain dari pada itu, ibadah ini juga menjadi salah satu bagian dari Syiar Allah, yang dilaksanakan sebagai wujud rasa syukur seorang hamba kepada Sang Maha Pemberi nikmat. Sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:

Unta-unta itu Kami jadikan untukmu sebagai bagian dari syiar agama Allah. Bagimu terdapat kebaikan padanya. Maka, sebutlah nama Allah (ketika kamu akan menyembelihnya, sedangkan unta itu) dalam keadaan berdiri (dan kaki-kaki telah terikat). Lalu, apabila telah rebah (mati), makanlah sebagiannya dan berilah makan orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta-minta. Demikianlah Kami telah menundukkannya (unta-unta itu) untukmu agar kamu bersyukur. (QS. Al-Hajj [22]: 36)

Selanjutnya, secara horizontal, ibadah ini memiliki nilai sosial agar seorang hamba dapat berbuat ihsan, menunjukkan rasa peduli, dan berbagi dengan sesamanya. Rasulullah Saw bersabda:

Dari Nubaisyah; seorang laki-laki dari suku Hudzail, dari Nabi Saw, beliau bersabda, “Sesungguhnya aku pernah melarang kalian dari menyimpan daging hewan kurban lebih dari tiga hari, agar (pemberian) merata bagi kalian. Maka sungguh Allah Swt datang dengan kebaikan, maka (sekarang) makanlah daging kurban, sedekahkanlah, dan simpanlah. Sesungguhnya ini adalah hari makan, minum, dan mengingat Allah Swt…” (HR. An-Nasa‘i no 4230)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top